Wednesday, January 4, 2017

Perbandingan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional Mana lebih mahal atau murah bunganya

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan penelitian  ini diarahkan pada dua isu utama. Pertama tentang konsep kredit. Kedua penggunaan istilah. Maka untuk kepentingan analisis terkait dua hal diatas, penyusun memusatkan analisisnya pada Surat Bukti Kredit selanjutnya disebut SBK masing-masing pegadaian.  Disamping itu analisis pembanding dilakukan dengan buku-buku dan konsep-konsep lain yang sesuai dengan topik yang dibahas.

Pembahasan terkait dengan konsep kredit merupakan pembahasan yang sangat esensial dalam penelitian ini. Di awali dari sebuah keyakinan bahwa ada perbedaan dan persamaan dari segi konsep antara pegadaian  syariah dan pegadaian konsvensional. Berangkat dari hal tersebut, analisa perbandingan ini berupaya mengungkap hal-hal yang selama berada di area abu-abu antara kedua pegadaian tersebut.

Berdasarkan pada surat Surat Bukti Kredit (SBK), masing-masing pegadaian telah menguraikan panjang lebar seputar hal dan konsep terkait kreditnya masing-masing. Dalam konsep pegadaian konvensional termuat perjanjian kredit antara nasabah dengan penggadai dengan 10 item perjanjian. Sedangkan perjanjian menurut pegadaian konvensional sebanyak 7 item. Ketentuan pinjaman oleh pegadaian konvensional termuat dalam 5 item sedangkan pegadaian syariah memuat 4 item ketentuan pinjaman.

Konsep kredit pegadaian syariah pada hakikatnya didasarkan pada ketentuan syariat islam terkait dengan masalah gadai (Rahn). Berbagai ketentuan yang mengatur tentang gadai (Rahn) dalam syariat misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 283 ”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”. Dan hadits Riwayat Muslim dari Aisyah yang mengatakan bahwa rasululah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan memberikan baju besi sebagai jaminannya. Sementara pegadaian konvensional lahir atas prakarsa pemerintah dengan dikeluarkannya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 yang kemudian direvisi pada PP No. 103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian. Kendati dengan landasan konseptual yang berbeda namun dari segi asas yuridis sama yaitu peraturan pemerintah.

Akad ijarah merupakan konsep pemberian kredit yang utama dalam sistem pegadaian syariah.  Perkataan  al-ijarah sendiri berasal dari kata al-ajr yang berarti balasan atau ganjaran ke atas sesuatu pekerjaan (Sabri dan Mumin, 2006: 2). Dengan demikian ijarah yang dikehendaki pegadaian syariah adalah biaya sewa dan perawatan terhadap barang yang digadai.

Ketentuan perhitungan ijarah oleh pegadaian syariah berdasarkan pada siklus persepuluh hari. Misalnya uang Taksiran terhadap barang sebesar Rp. 10.000.000  Pinjaman Rp. 1.000.000,  Maka Biaya Administrasi Gadai dan Gadai Ulangnya adalah Rp 30.000,-. Sedangkan Ijarahnya sebesar : 1% X Rp 10.000.000,- = Rp 100.000,- / 120 hari.

Pegadaian konvensional menggunakan teknik perhitungan dengan siklus per lima belas hari dengan ketentuan bunga antara 1,200% sampai dengan 9,600%. Dengan suku bunga tetap selama lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 3,5% / bulan (Saudin Sijabat, 2010). Dengan durasi perpanjangan gadai 120 hari (4 bulan). Misalnya uang pinjaman sebesar Rp. 1.000.000. Maka, biaya sewa modal yang harus dikeluarkan oleh penggadai dengan perhitungan 1.000.000/11,6% menjadi Rp. 116.000/ 4 bulan. Dengan biaya administrasi dibagi dua yaitu gadai baru dengan biaya sebesar 1%. Dan gadai ulang sebesar 0,8% / 4 bulan. Sehingga biaya administrasinya sebesar Rp. 8.000.

Dari hasil perbandingan ini, diperoleh bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh rahin pada transaksi gadai syariah lebih mahal dibandingkan dengan transaksi yang dikeluarkan pada pegadaian konvensional. Hal ini berarti, identitas syariah yang digunakan oleh pegadaian syariah sama sekali tidak berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang penggadai.

Hal menarik yang patut dicermati sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Manan dalam bukunya ekonomi islam adalah jangan sampai praktik ekonomi islam memakai nama dalam bentuk syariah dengan esensi riba yang sama. Hal ini akan sangat mencoreng citra syariah sebagai ajaran yang berasal dari Allah.

Persoalan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional yang memiliki banyak kesamaan tidak memberikan arti penting dalam menjawab persoalan syariah seputar masalah gadai. Secara essensial antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional tidaklah berbeda justru kalau dikaji dari segi kemaslahatan pegadaian syariah lebih banyak membebani penggadai daripada pegadaian konvensional. Yang menjadi pertanyaan besar peneliti adalah motif dikeluarkannya peraturan yang terkait dengan  pegadaian syariah itu seperti apa. Kalau misalnya kata syariah hanya untuk menarik pelanggan yang mayoritas muslim jelas ini sudah menyalahi ketentuan syariat islam yang diturunkan oleh Allah. Dan mencaplok nama syariah pada pada bidang bisnis jelas merupakan pelanggaran yang tidak bermoral.

Dari segi penggunaan istilah tertutama istilah ijarah yang digunakan oleh pegadaian syariah untuk memungut biaya penyimpanan barang jaminan penggadai sebenarnya memiliki essensi yang sama dengan bunga yang dipergunakan oleh pegadaian konvensional terhadap uang pinjaman. Dengan menggunakan siklus empat bulanan terhadap tarif ijaroh akan sulit kita membedakan dengan pegadaian konvensional. Sehingga yang terjadi adalah bukan perbedaan dari segi essensi tetapi hanya dalam penggunaan istilah.

Kendati istilah yang digunakan ini berbeda yakni satu menggunakan kata ijaroh yang berbasis syariat islam sedangkan yang lain menggunakan bunga yang jelas-jelas dilarang oleh syariat islam, tetapi itu tidak mengurangi nilai beban yang diberikan oleh masing-masing pegadaian. Seandainya pegadaian syariah yang memakai istilah ijaroh untuk pungutannya tidak membatasi waktu dengan empat bulanan, maka ini yang paling sesuai dengan konsep pegadaian syariah. Hal ini didasarkan pada hadits ketika rasulullah menggadaikan baju besinya untuk ditukarkan dengan  makanan, dalam akad tersebut tidak dijelaskan kapan dan berapa bulan batas waktu yang ditentukan untuk penebusan kembali.

Disamping itu, ketentuan Rahn (gadai syariah) berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 mengatakan bahwa terdapat lima point yang fundamental praktek gadai yang sesuai dengan syariat islam salah satunya adalah “besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman”. Sementara praktik pegadaian syariah pada hari ini besar biaya administrasi dan biaya ijaroh tergantung pada besar kecilnya pinjaman yang diambil atas hasil analisis prediktor terhadap barang gadai. Sehingga yang terjadi bukan praktik gadai syariah tetapi praktik gadai dengan sistem bunga/riba yang mengalami perubahan sampul dari usaha gadai konvensional.

Dengan demikian diakhir pembahasan ini peneliti ingin menegaskan bahwa tidak terdapat ketentuan syar’i yang mengatakan bahwa ijaroh yang dikenakan terhadap penggadai dengan waktu yang ditentukan. Sehingga bagaimanapun baiknya pegadaian syariah apabila beban biaya sama dengan pegadaian konvensional maka unsur syariah pegadaian sebagai alat untuk membantu masyarakat tidak dapat terpenuhi, apalagi kedua pegadaian tersebut sama-sama menggunakan siklus peminjaman yang empat bulanan.

Sumber : m.kompasiana.com/amp/iksanarr/pegadaian-syariah-versus-pegadaian-konvensional-sebuah-analisis-perbandingan_54f85207a33311f07d8b45bd

No comments: