Wednesday, June 3, 2009

Pulau Paskah



Ketika Jacob Roggeveen menemukan sebuah pulau di Hari Paskah tahun 1722, dia menemukan sebuah pulau gersang yang hanya dihuni oleh ratusan penduduk. Tetapi alangkah terpesonanya dia ketika melihat berdirinya ratusan patung-patung raksasa yang oleh penduduk lokal disebuat moai. Bagaimana, tanya Roggeveen, mereka mampu mendirikan patung-patung tersebut tanpa sumber daya yang memadai? Pulau yang kemudian diberi nama Pulau Paskah (Easter Island) tersebut juga merupakan salah satu pulau terjauh di dunia sehingga interaksi dengan pulau-pulau tetangga boleh dibilang sangat minim.

Ratusan tahun berlalu dan banyak ahli yang masih mencoba menerka bagaimana patung-patung tersebut didirikan. Berbagai teori dilahirkan, termasuk bantuan makhluk-makhluk cerdas luar angkasa. Akhirnya teori yang lebih masuk di akal berhasil dibuat dan dibuktikan melalui rekonstruksi.

Pulau Paskah, ternyata di jaman sebelumnya tidaklah segersang saat ini. Ribuan pohon kelapa berbaris rapi di tepi-tepi pantai. Pohon-pohon besar lainnya juga tumbuh di sana. Lalu kemana perginya pohon-pohon tersebut? Jawabannya ternyata sangat berhubungan dengan patung-patung raksasa tersebut. Ya, pohon-pohon tersebut ditebang agar bisa dipakai untuk mengangkut dan mendirikan patung-patung tersebut. Patung-patung yang didirikan tak lain tak bukan untuk — apa lagi kalau bukan — menunjukkan persaingan ego suku-suku di sana yang berlomba-lomba mendirikan patung yang lebih besar.

Hari ini, ribuan kilometer di selatan Pulau Paskah, es Antartika mulai mencair. Adakah hubungan antar keduanya? Kita tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk menarik benang merah antar kedua kejadian yang terpisah ruang dan waktu tersebut. Bumi kita sekarang ini adalah sebuah “Pulau Paskah”, sebuah planet yang jauh terpisah dari planet-planet lainnya yang bisa mendukung kehidupan (itu pun kalau ada). Saat ini, bumi kita masih hijau, tapi mulai menjalani alur sejarah yang sama dengan apa yang akhirnya menimpa Pulau Paskah. Jutaan kubik gas karbondioksida yang kita buang ke atmosfir tiap hari telah membuat bumi kita tambah panas dan hidup kita makin kacau. Kita berlomba-lomba menunjukkan ego kita dengan membeli mobil yang lebih besar, membangun gedung yang lebih megah yang memakai listrik yang lebih banyak, mendirikan pabrik-pabrik berkapasitas raksasa, yang semuanya membutuhkan sumber daya bumi yang terbatas.

Untuk sesaat, kita memang belum merasakan efeknya. Tetapi time is running out. Belum percaya? Lihatlah kehidupan sehari-hari kita di Indonesia. Untuk memperoleh minyak tanah, kita harus antri berjam-jam. Elpiji langka juga. Listrik mati padam. Dan itu baru awalnya.

Lalu apa berita baiknya? Berita baiknya adalah kita bisa belajar dari sejarah yang menimpa Pulau Paskah (dan peradaban-peradaban lainnya seperti Maya, Viking, dan Tokugawa yang akan saya bahas di posting-posting berikutnya). Selain itu kita telah membuktikan di tengah-tengah keegoisan sejumlah umat manusia, masih banyak orang-orang yang secara tulus mau melakukan apa saja untuk menyelamatkan bumi ini. Sejarah juga mengajarkan kita bahwa bila kita semua bekerja sama untuk mengatasi sebuah masalah — meski itu adalah masalah global — tidak ada hal yang mustahil. Punahnya penyakit cacar, hampir diberantasnya polio, berkurangnya angka kematian karena melahirkan, dan bagaimana beberapa tahun lalu para ilmuwan dan dokter yang bekerja sama secara maraton di bawah koordinasi WHO mampu menciptakan vaksin virus SARS dalam waktu singkat, adalah bukti bahwa kerja sama dalam skala global adalah mungkin.

Dan bila ada satu pesan yang bisa disampaikan melalui posting ini adalah: Kita memang dalam masalah besar, tetapi sikap terbaik kita bukanlah duduk lemas (atau acuh) karena kita tidak tahu atau merasa terlalu kecil untuk melakukan sesuatu. Lakukanlah sesuatu untuk menyelamatkan bumi ini, sekecil apa pun itu (misalnya: mematikan peralatan listrik yang tidak dipakai, memakai lampu atau peralatan listrik yang hemat energi, atau tidak menyalakan mesin mobil ketika tidak dipakai, atau sekedar berdoa), dengan optimisme bahwa apa yang kita lakukan tersebut berarti. Bila kita tidak ingin melakukan hal tersebut untuk kita sendiri, lakukanlah demi anak cucu kita. Hidup mereka akan lebih nyaman kelak bila kita mau melakukan pengorbanan-pengorbanan kecil tersebut mulai sekarang.

Sumber : http://www.itpin.com


No comments: