Universitas
Terbuka. Bukanlah perguruan tinggi tujuanku ketika lulus SMA dulu.
Namanya saja cuma kudengar sekilas dari guru ekonomiku waktu kelas 3
SMA. Tapi, kegagalanku di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) atau
Politeknik Universitas Indonesia (UI) membuatku tidak punya pilihan. Aku
tidak mau kedatanganku ke Jakarta sia-sia. Karena itu, setelah
memutuskan keluar dari PNJ usai semester kedua, aku memutuskan untuk
memulai kembali kuliah dari awal, di Universitas Terbuka atau sering
disingkat UT.
Aku ingat, aku cukup kesulitan saat pertama kali
mendaftarkan diri ke universitas dengan metode pembelajaran mandiri
tersebut. Semua dimulai saat aku menjelajahi setengah Kota Depok dan
Tangerang, demi mencari lokasi gedung utama UT di Pondok Cabe. Itu cukup
melelahkan, aku ingat aku mengendarai Suzuki Nouvo milik tanteku,
dengan mulai mengendarai dari Cipayung, Jakarta Timur. Wilayah yang
asing membuatku berkali-kali kebingungan dan tersesat. Sepanjang
perjalanan, aku yang memang belum paham benar wilayah Depok dan
Tangerang, mengandalkan peta Jabodetabek edisi lama dan insting serta
keberanian bertanya.
Kupikir perjalananku selesai
setelah menemukan Gedung UT di Pondok Cabe. Namun ternyata itu baru
awal. Karena setibanya disana, aku justru disuruh untuk mendaftar di
Unit Pembelajaran Jarak Jauh (UPBJJ) terdekat dari rumahku. Yang saat
itu adalah UPBJJ Jakarta, yang menumpang pada Universitas Negeri Jakarta
(UNJ). So, aku pun mendaftar dan mengurus semua administrasi kuliahku
di UT sendiri. Walaupun, awalnya aku merasa asing dengan sistem
pembelajaran yang digunakan UT. Namun perlahan, aku mulai mengetahui sistem tersebut. Tengah tahun 2007, aku bergabung ke UT.
Di UT, aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Pada
semester pertama, kalau tidak salah aku mengambil 7 mata kuliah. Aku
pun mengikuti masa orientasi perkuliahan yang disebut OSMB. Di dalam
OSMB itu, semangatku untuk kuliah begitu terpacu. Karena bisa bertemu
dengan teman-teman mahasiswa yang lain dengan almamater UT yang
kuning. Disana dijelaskan bagaimana cara belajar yang tepat di UT, dan
bagaimana pembelajaran yang diterapkan. Aku pun mulai melakoni kuliah
mandiri, dengan membeli buku modul kuliah dan mempelajarinya sendiri.
Ilmu
komunikasi bisa dibilang hal baru bagiku waktu itu. Mengingat,
sebelumnya aku kuliah di jurusan prodi perbankan, jurusan Akuntansi.
Tapi toh rupanya materi yang ada dalam modul-modulnya menarik untuk
dipelajari. Aku pun giat membaca, walaupun awalnya sulit menyesuaikan
diri dengan perubahan gaya belajar yang sangat drastis bila dibandingkan
perguruan tinggi konvensional. Bila pada perguruan tinggi konvensional
kita mengandalkan interaksi dengan dosen dengan intens, maka
pembelajaran mandiri yang diterapkan UT menuntut setiap mahasiswanya
memiliki motivasi sendiri di dalam belajar. Mahasiswa dituntut untuk
memiliki kreativitas sendiri, karena tidak ada yang mengawasi secara
tegas. Yang penting, mahasiswa dapat memahami materi dalam
setiap modul, dan bisa menjawab setiap soal dalam Ujian Akhir Semester
(UAS) dengan baik. Bila ada mata kuliah yang mendapat nilai E, maka harus mengulang pada semester berikutnya.
Kuliah
di UT membuatku tidak terikat pada bangku ruangan kelas. Maksudku, aku
bisa melakukan 'kuliah' dimana saja aku mau, selama aku membawa modul
mata kuliah. Mulai dari rumah, masjid, hingga di tengah hutan, di daerah
pedalaman, aku tetap bisa kuliah, yang dalam hal ini artinya membaca
buku dimanapun berada. Meskipun begitu, UT menawarkan bentuk
pembelajaran aktif dengan interaksi bersama para dosen. Yaitu melalui
tutorial tatap muka (TTM) dan tutorial online (Tuton). Aku pun
memanfaatkan dua jenis tutorial ini untuk bisa semakin memahami materi
dan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Untuk TTM dilakukan setiap akhir
pekan. Karena memang pada akhir pekan atau hari libur, para mahasiswa
UT yang kebanyakan kaum pekerja bisa memiliki waktu. Sementara Tuton,
dilakukan melalui situs UT, dengan pemberian tugas dan diskusi setiap
pekannya.
Meski terbilang lancar dalam menempuh
pendidikan di UT, namun toh awalnya aku sempat down dan terpikir untuk
berhenti kuliah di UT. Itu terjadi pada semester pertama. Kala itu, aku
tidak berhasil mengikuti ujian hari pertama dan juga sebagian ujian hari
kedua karena salah satu sebab. Dari 7 mata kuliah yang kuambil hanya 2
mata kuliah yang sempat kuikuti. Tak ayal, IP semester awalku pun hanya
berasal dari dua mata kuliah tersebut, yang sayangnya nilai yang
kudapatkan yaitu C dan D. Ini membuatku berpikir kembali. Namun, aku
tidak menyerah. Apalagi aku sudah mempertaruhkan semuanya untuk bisa
melanjutkan pendidikan tinggi di UT.
Belajar dari pengalaman di
semester pertama, aku pun menyiapkan UAS dengan lebih seksama. Untuk
penyelenggaraan UAS ini dilakukan di sekolah-sekolah tertentu yang telah
ditunjuk, dengan pelaksanaan di hari Sabtu dan Minggu. Sehari sebelum
ujian digelar, aku harus melakukan survei tempat terlebih dulu agar pada
saat ujian aku bisa menemukan lokasinya dengan mudah dan juga aksesnya.
Tapi, sempat pula ujianku di semester ini nyaris gagal, ketika aku
terlambat mengambil kartu ujian dan hari Jumat pekan itu merupakan hari
libur. Beruntung aku menghubungi pihak UPBJJ dan pihak UPBJJ menyatakan
kartu ujian tetap bisa diambil walaupun hari libur. So, ujianku pun
terselamatkan.
Pekan-pekan itu menjadi pembelajaran bagi
studiku di kampus yang tidak biasa tersebut. Aku pun mulai terbiasa
belajar mandiri, mengerjakan tugas dan berdiskusi secara online, serta
mengikuti tutorial tatap muka bila mata kuliahku tersedia untuk tutorial
tersebut. Semester demi semester pun terlewati, dan petulanganku dari
satu tempat ujian ke tempat ujian pun terjadi. Aku selalu mempersiapkan
ujianku dengan matang. Aku pun kini merindukan saat-saat istirahat
ujian, dimana aku selalu menyantap indomi goreng dua porsi di warung
terdekat. Bahkan, aku pernah ketiduran ketika menunggu waktu istirahat
selesai untuk ujian mata pelajaran berikutnya. Beruntung aku tidak
terlambat cukup lama untuk bisa menyusul.
Akhirnya dalam
waktu 3,5 tahun aku berhasil menyelesaikan semua persyaratan yang
diminta untuk bisa mengikuti Tugas Akhir Program (TAP). Semua mata
kuliah yang dipersyaratkan sudah kuselesaikan dengan nilai bervariasi,
namun tidak ada nilai E. Karena kalau sampai mendapat E artinya tidak
lulus mata kuliah tersebut dan mengulang pada semester berikutnya. So,
aku tinggal berhadapan dengan TAP.
TAP merupakan salah
satu ketakutanku. Di masa kuliahku dulu, TAP berupa studi kasus.
Mahasiswa disodorkan beberapa kasus untuk dikerjakan dengan menerapkan
semua teori komunikasi yang pernah dipelajari. Tak ingin gagal dalam
ujian yang menentukan ini, aku pun mengikuti Tuton dan TTM pembekalan
TAP. Disinilah aku bertemu dengan kawan-kawan dengan misi yang
sama, lulus kuliah. Di antaranya yaitu Mas Miko dan Pak Hasan.
Komunikasiku dengan Mas Miko telah terputus, namun sampai saat ini Pak
Hasan masih sering menghubungiku, meminta saran mengingat rupanya Pak
Hasan belum dinyatakan lulus semester TAP kami waktu itu.
Saking ingin meraih nilai baik, aku
sampai mengasingkan diriku di rumah kakakku. Ada sebuah kamar kosong di
lantai atas rumah kakakku (yang sebenarnya rumah mertuanya), yang
kutempati untuk dapat mempelajari 4 mata kuliah yang menjadi kunci dalam
TAP. Apalagi aku sudah mendapatkan kisi-kisi melalui TTM dan Tuton.
Yeah, pengasingan diriku saat itu kusebut dengan istilah karantina.
Setiap hari yang kulakukan hanyalah menjejali isi kepalaku dengan
materi-materi dalam 4 modul mata kuliah tersebut, hingga aku benar-benar
memahaminya.
Dan, akhirnya ujian TAP pun tiba, mengambil
tempat di salah satu sekolah di Jakarta. Yeah, disini aku bertemu
teman-temanku saat TTM, dan kami sama-sama gugup. Aku bahkan berada satu
ruangan dengan beberapa dari mereka. Well,mengerjakan TAP
membuatku gugup, namun aku terus berupaya untuk menenangkan diri, dan
menerapkan teori-teori yang kupelajari sebelumnya dalam setiap kasus
yang disajikan.
Seusai TAP merupakan penantian panjang hingga
hasilnya diumumkan. Tapi toh penantianku tak sia-sia. Aku mendapatkan
nilai A dalam TAP, sekaligus membuka pintu Yudisium. Saat itu, IPK yang
kuraih sebesar 2,9. Hanya kurang 0,1 saja untuk melengkapinya menjadi 3.
Ada keinginan untuk memperbaiki nilai mata kuliahku sehingga aku bisa
memperbaiki IPK. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan, mengingat
aku harus bisa menunjukkan pada tanteku yang selama ini membiayaiku
untuk bisa lulus dengan cepat. Well, akhirnya kuputuskan untuk berhenti
di angka tersebut. Kuakui, meraih nilai tinggi di UT cukuplah sulit, dan
meraih IPK sebesar dalam kurun waktu 3,5 tahun sudah merupakan prestasi
tersendiri yang patut disyukuri.
Aku pun memastikan
yudisium, dan mendaftar wisuda. Sayangnya, kesalahan informasi membuatku
membawa pasfoto berwarna. Padahal, semestinya foto hitam putih. Hal
inilah yang kemudian kusesali sampai saat ini, mengingat wajahku tidak
terlihat jelas dalam versi fotokopi ijazahku. Lantas
tanggal 5 April 2011, aku diwisuda bersama kawan-kawanku di UT Pondok
Cabe. Aku datang bersama ibuku, dan kulihat betapa ibuku bahagia
melihatku dalam pakaian toga dan berhasil menyelesaikan kuliah. Yeah,
aku menjadi anak pertamanya yang berhasil menyelesaikan kuliah S1.
Tentunya ini membanggakan beliau mengingat beliau merawatku seorang diri
sebagai single mother usai kematian ayahku saat aku masih berumur enam
tahun.
Ya, perjuanganku belajar mandiri tidak sia-sia.
Meski sempat dimulai dengan pesimistis, toh aku berhasil mengakhirinya
dengan baik. Meskipun sebelumnya aku tidak berniat menggunakan ijazahku
untuk mencari pekerjaan, toh ijazahku itu membawaku bekerja pada dua
tempat berbeda. Terkadang aku teringat kembali pada masa-masa itu,
masa-masa belajar mandiri. Ketika belajar di masjid, belajar di taman,
hingga belajar di tengah hutan, semuanya pernah kualami. Teringat pula
ketika aku menjabat tangan rektor Universitas Terbuka Tian Belawati saat
wisuda. Sosok yang menurutku luar biasa, yang sebelumnya hanya kulihat
di televisi, akhirnya aku bisa menjabat tangannya secara langsung.
Ingin
rasanya kembali lagi ke almamaterku, apalagi ada banyak perubahan yang
terjadi. Misalnya, kini di UT terdapat paket kuliah, sehingga kuliah
menjadi lebih tertata dengan baik. Pun, kini UT menerapkan penulisan
laporan penelitian yang sangat kuidam-idamkan, namun tak bisa
kulakukan pada masaku dulu. Informasi ini kudapati dari Pak Hasan. Tapi
yeah, masa-masaku di kampus dengan jaket almamater berwarna senada
Universitas Indonesia tersebut sudah selesai. Sekarang saatnya,
mengaplikasikannya pada dunia kerja. Walaupun aku sempat
merencanakan untuk mempelajari lebih dalam modul-modul ilmu komunikasi
yang kumiliki, hingga aku memahaminya dengan benar. Tapi sebelum itu
sempat kulakukan, aku harus kembali ke Bontang, untuk menimba
pengalaman.
Itulah sekilas pengalamanku sekilas menuntut
ilmu di UT. Aku tak peduli perkataan orang mengenai almamaterku.
Bagiku, UT merupakan kampus tercinta yang akan selalu meninggalkan kesan
di hatiku. Setiap perkembangan yang terjadi di UT, selalu membuatku
merasa bangga. Terima kasih UT, terima kasih atas pembelajaran mandiri
yang telah kau berikan padaku. Terima kasih telah memberiku kesempatan,
memperbaiki hidupku. (luk)