Sebuah kisah mahasiswa Universitas Terbuka (UT)
Ceritaku di Universitas Terbuka
Universitas
Terbuka. Bukanlah perguruan tinggi tujuanku ketika lulus SMA dulu.
Namanya saja cuma kudengar sekilas dari guru ekonomiku waktu kelas 3
SMA. Tapi, kegagalanku di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) atau
Politeknik Universitas Indonesia (UI) membuatku tidak punya pilihan. Aku
tidak mau kedatanganku ke Jakarta sia-sia. Karena itu, setelah
memutuskan keluar dari PNJ usai semester kedua, aku memutuskan untuk
memulai kembali kuliah dari awal, di Universitas Terbuka atau sering
disingkat UT.
Aku ingat, aku cukup kesulitan saat pertama kali mendaftarkan diri ke universitas dengan metode pembelajaran mandiri tersebut. Semua dimulai saat aku menjelajahi setengah Kota Depok dan Tangerang, demi mencari lokasi gedung utama UT di Pondok Cabe. Itu cukup melelahkan, aku ingat aku mengendarai Suzuki Nouvo milik tanteku, dengan mulai mengendarai dari Cipayung, Jakarta Timur. Wilayah yang asing membuatku berkali-kali kebingungan dan tersesat. Sepanjang perjalanan, aku yang memang belum paham benar wilayah Depok dan Tangerang, mengandalkan peta Jabodetabek edisi lama dan insting serta keberanian bertanya.
Kupikir perjalananku selesai setelah menemukan Gedung UT di Pondok Cabe. Namun ternyata itu baru awal. Karena setibanya disana, aku justru disuruh untuk mendaftar di Unit Pembelajaran Jarak Jauh (UPBJJ) terdekat dari rumahku. Yang saat itu adalah UPBJJ Jakarta, yang menumpang pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ). So, aku pun mendaftar dan mengurus semua administrasi kuliahku di UT sendiri. Walaupun, awalnya aku merasa asing dengan sistem pembelajaran yang digunakan UT. Namun perlahan, aku mulai mengetahui sistem tersebut. Tengah tahun 2007, aku bergabung ke UT.
Di UT, aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Pada semester pertama, kalau tidak salah aku mengambil 7 mata kuliah. Aku pun mengikuti masa orientasi perkuliahan yang disebut OSMB. Di dalam OSMB itu, semangatku untuk kuliah begitu terpacu. Karena bisa bertemu dengan teman-teman mahasiswa yang lain dengan almamater UT yang kuning. Disana dijelaskan bagaimana cara belajar yang tepat di UT, dan bagaimana pembelajaran yang diterapkan. Aku pun mulai melakoni kuliah mandiri, dengan membeli buku modul kuliah dan mempelajarinya sendiri.
Ilmu komunikasi bisa dibilang hal baru bagiku waktu itu. Mengingat, sebelumnya aku kuliah di jurusan prodi perbankan, jurusan Akuntansi. Tapi toh rupanya materi yang ada dalam modul-modulnya menarik untuk dipelajari. Aku pun giat membaca, walaupun awalnya sulit menyesuaikan diri dengan perubahan gaya belajar yang sangat drastis bila dibandingkan perguruan tinggi konvensional. Bila pada perguruan tinggi konvensional kita mengandalkan interaksi dengan dosen dengan intens, maka pembelajaran mandiri yang diterapkan UT menuntut setiap mahasiswanya memiliki motivasi sendiri di dalam belajar. Mahasiswa dituntut untuk memiliki kreativitas sendiri, karena tidak ada yang mengawasi secara tegas. Yang penting, mahasiswa dapat memahami materi dalam setiap modul, dan bisa menjawab setiap soal dalam Ujian Akhir Semester (UAS) dengan baik. Bila ada mata kuliah yang mendapat nilai E, maka harus mengulang pada semester berikutnya.
Kuliah di UT membuatku tidak terikat pada bangku ruangan kelas. Maksudku, aku bisa melakukan 'kuliah' dimana saja aku mau, selama aku membawa modul mata kuliah. Mulai dari rumah, masjid, hingga di tengah hutan, di daerah pedalaman, aku tetap bisa kuliah, yang dalam hal ini artinya membaca buku dimanapun berada. Meskipun begitu, UT menawarkan bentuk pembelajaran aktif dengan interaksi bersama para dosen. Yaitu melalui tutorial tatap muka (TTM) dan tutorial online (Tuton). Aku pun memanfaatkan dua jenis tutorial ini untuk bisa semakin memahami materi dan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Untuk TTM dilakukan setiap akhir pekan. Karena memang pada akhir pekan atau hari libur, para mahasiswa UT yang kebanyakan kaum pekerja bisa memiliki waktu. Sementara Tuton, dilakukan melalui situs UT, dengan pemberian tugas dan diskusi setiap pekannya.
Meski terbilang lancar dalam menempuh pendidikan di UT, namun toh awalnya aku sempat down dan terpikir untuk berhenti kuliah di UT. Itu terjadi pada semester pertama. Kala itu, aku tidak berhasil mengikuti ujian hari pertama dan juga sebagian ujian hari kedua karena salah satu sebab. Dari 7 mata kuliah yang kuambil hanya 2 mata kuliah yang sempat kuikuti. Tak ayal, IP semester awalku pun hanya berasal dari dua mata kuliah tersebut, yang sayangnya nilai yang kudapatkan yaitu C dan D. Ini membuatku berpikir kembali. Namun, aku tidak menyerah. Apalagi aku sudah mempertaruhkan semuanya untuk bisa melanjutkan pendidikan tinggi di UT.
Belajar dari pengalaman di semester pertama, aku pun menyiapkan UAS dengan lebih seksama. Untuk penyelenggaraan UAS ini dilakukan di sekolah-sekolah tertentu yang telah ditunjuk, dengan pelaksanaan di hari Sabtu dan Minggu. Sehari sebelum ujian digelar, aku harus melakukan survei tempat terlebih dulu agar pada saat ujian aku bisa menemukan lokasinya dengan mudah dan juga aksesnya. Tapi, sempat pula ujianku di semester ini nyaris gagal, ketika aku terlambat mengambil kartu ujian dan hari Jumat pekan itu merupakan hari libur. Beruntung aku menghubungi pihak UPBJJ dan pihak UPBJJ menyatakan kartu ujian tetap bisa diambil walaupun hari libur. So, ujianku pun terselamatkan.
Pekan-pekan itu menjadi pembelajaran bagi studiku di kampus yang tidak biasa tersebut. Aku pun mulai terbiasa belajar mandiri, mengerjakan tugas dan berdiskusi secara online, serta mengikuti tutorial tatap muka bila mata kuliahku tersedia untuk tutorial tersebut. Semester demi semester pun terlewati, dan petulanganku dari satu tempat ujian ke tempat ujian pun terjadi. Aku selalu mempersiapkan ujianku dengan matang. Aku pun kini merindukan saat-saat istirahat ujian, dimana aku selalu menyantap indomi goreng dua porsi di warung terdekat. Bahkan, aku pernah ketiduran ketika menunggu waktu istirahat selesai untuk ujian mata pelajaran berikutnya. Beruntung aku tidak terlambat cukup lama untuk bisa menyusul.
Akhirnya dalam waktu 3,5 tahun aku berhasil menyelesaikan semua persyaratan yang diminta untuk bisa mengikuti Tugas Akhir Program (TAP). Semua mata kuliah yang dipersyaratkan sudah kuselesaikan dengan nilai bervariasi, namun tidak ada nilai E. Karena kalau sampai mendapat E artinya tidak lulus mata kuliah tersebut dan mengulang pada semester berikutnya. So, aku tinggal berhadapan dengan TAP.
TAP merupakan salah satu ketakutanku. Di masa kuliahku dulu, TAP berupa studi kasus. Mahasiswa disodorkan beberapa kasus untuk dikerjakan dengan menerapkan semua teori komunikasi yang pernah dipelajari. Tak ingin gagal dalam ujian yang menentukan ini, aku pun mengikuti Tuton dan TTM pembekalan TAP. Disinilah aku bertemu dengan kawan-kawan dengan misi yang sama, lulus kuliah. Di antaranya yaitu Mas Miko dan Pak Hasan. Komunikasiku dengan Mas Miko telah terputus, namun sampai saat ini Pak Hasan masih sering menghubungiku, meminta saran mengingat rupanya Pak Hasan belum dinyatakan lulus semester TAP kami waktu itu.
Saking ingin meraih nilai baik, aku sampai mengasingkan diriku di rumah kakakku. Ada sebuah kamar kosong di lantai atas rumah kakakku (yang sebenarnya rumah mertuanya), yang kutempati untuk dapat mempelajari 4 mata kuliah yang menjadi kunci dalam TAP. Apalagi aku sudah mendapatkan kisi-kisi melalui TTM dan Tuton. Yeah, pengasingan diriku saat itu kusebut dengan istilah karantina. Setiap hari yang kulakukan hanyalah menjejali isi kepalaku dengan materi-materi dalam 4 modul mata kuliah tersebut, hingga aku benar-benar memahaminya.
Dan, akhirnya ujian TAP pun tiba, mengambil tempat di salah satu sekolah di Jakarta. Yeah, disini aku bertemu teman-temanku saat TTM, dan kami sama-sama gugup. Aku bahkan berada satu ruangan dengan beberapa dari mereka. Well,mengerjakan TAP membuatku gugup, namun aku terus berupaya untuk menenangkan diri, dan menerapkan teori-teori yang kupelajari sebelumnya dalam setiap kasus yang disajikan.
Seusai TAP merupakan penantian panjang hingga hasilnya diumumkan. Tapi toh penantianku tak sia-sia. Aku mendapatkan nilai A dalam TAP, sekaligus membuka pintu Yudisium. Saat itu, IPK yang kuraih sebesar 2,9. Hanya kurang 0,1 saja untuk melengkapinya menjadi 3. Ada keinginan untuk memperbaiki nilai mata kuliahku sehingga aku bisa memperbaiki IPK. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan, mengingat aku harus bisa menunjukkan pada tanteku yang selama ini membiayaiku untuk bisa lulus dengan cepat. Well, akhirnya kuputuskan untuk berhenti di angka tersebut. Kuakui, meraih nilai tinggi di UT cukuplah sulit, dan meraih IPK sebesar dalam kurun waktu 3,5 tahun sudah merupakan prestasi tersendiri yang patut disyukuri.
Aku pun memastikan yudisium, dan mendaftar wisuda. Sayangnya, kesalahan informasi membuatku membawa pasfoto berwarna. Padahal, semestinya foto hitam putih. Hal inilah yang kemudian kusesali sampai saat ini, mengingat wajahku tidak terlihat jelas dalam versi fotokopi ijazahku. Lantas tanggal 5 April 2011, aku diwisuda bersama kawan-kawanku di UT Pondok Cabe. Aku datang bersama ibuku, dan kulihat betapa ibuku bahagia melihatku dalam pakaian toga dan berhasil menyelesaikan kuliah. Yeah, aku menjadi anak pertamanya yang berhasil menyelesaikan kuliah S1. Tentunya ini membanggakan beliau mengingat beliau merawatku seorang diri sebagai single mother usai kematian ayahku saat aku masih berumur enam tahun.
Ya, perjuanganku belajar mandiri tidak sia-sia. Meski sempat dimulai dengan pesimistis, toh aku berhasil mengakhirinya dengan baik. Meskipun sebelumnya aku tidak berniat menggunakan ijazahku untuk mencari pekerjaan, toh ijazahku itu membawaku bekerja pada dua tempat berbeda. Terkadang aku teringat kembali pada masa-masa itu, masa-masa belajar mandiri. Ketika belajar di masjid, belajar di taman, hingga belajar di tengah hutan, semuanya pernah kualami. Teringat pula ketika aku menjabat tangan rektor Universitas Terbuka Tian Belawati saat wisuda. Sosok yang menurutku luar biasa, yang sebelumnya hanya kulihat di televisi, akhirnya aku bisa menjabat tangannya secara langsung.
Ingin rasanya kembali lagi ke almamaterku, apalagi ada banyak perubahan yang terjadi. Misalnya, kini di UT terdapat paket kuliah, sehingga kuliah menjadi lebih tertata dengan baik. Pun, kini UT menerapkan penulisan laporan penelitian yang sangat kuidam-idamkan, namun tak bisa kulakukan pada masaku dulu. Informasi ini kudapati dari Pak Hasan. Tapi yeah, masa-masaku di kampus dengan jaket almamater berwarna senada Universitas Indonesia tersebut sudah selesai. Sekarang saatnya, mengaplikasikannya pada dunia kerja. Walaupun aku sempat merencanakan untuk mempelajari lebih dalam modul-modul ilmu komunikasi yang kumiliki, hingga aku memahaminya dengan benar. Tapi sebelum itu sempat kulakukan, aku harus kembali ke Bontang, untuk menimba pengalaman.
Itulah sekilas pengalamanku sekilas menuntut ilmu di UT. Aku tak peduli perkataan orang mengenai almamaterku. Bagiku, UT merupakan kampus tercinta yang akan selalu meninggalkan kesan di hatiku. Setiap perkembangan yang terjadi di UT, selalu membuatku merasa bangga. Terima kasih UT, terima kasih atas pembelajaran mandiri yang telah kau berikan padaku. Terima kasih telah memberiku kesempatan, memperbaiki hidupku. (luk)
Aku ingat, aku cukup kesulitan saat pertama kali mendaftarkan diri ke universitas dengan metode pembelajaran mandiri tersebut. Semua dimulai saat aku menjelajahi setengah Kota Depok dan Tangerang, demi mencari lokasi gedung utama UT di Pondok Cabe. Itu cukup melelahkan, aku ingat aku mengendarai Suzuki Nouvo milik tanteku, dengan mulai mengendarai dari Cipayung, Jakarta Timur. Wilayah yang asing membuatku berkali-kali kebingungan dan tersesat. Sepanjang perjalanan, aku yang memang belum paham benar wilayah Depok dan Tangerang, mengandalkan peta Jabodetabek edisi lama dan insting serta keberanian bertanya.
Kupikir perjalananku selesai setelah menemukan Gedung UT di Pondok Cabe. Namun ternyata itu baru awal. Karena setibanya disana, aku justru disuruh untuk mendaftar di Unit Pembelajaran Jarak Jauh (UPBJJ) terdekat dari rumahku. Yang saat itu adalah UPBJJ Jakarta, yang menumpang pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ). So, aku pun mendaftar dan mengurus semua administrasi kuliahku di UT sendiri. Walaupun, awalnya aku merasa asing dengan sistem pembelajaran yang digunakan UT. Namun perlahan, aku mulai mengetahui sistem tersebut. Tengah tahun 2007, aku bergabung ke UT.
Di UT, aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Pada semester pertama, kalau tidak salah aku mengambil 7 mata kuliah. Aku pun mengikuti masa orientasi perkuliahan yang disebut OSMB. Di dalam OSMB itu, semangatku untuk kuliah begitu terpacu. Karena bisa bertemu dengan teman-teman mahasiswa yang lain dengan almamater UT yang kuning. Disana dijelaskan bagaimana cara belajar yang tepat di UT, dan bagaimana pembelajaran yang diterapkan. Aku pun mulai melakoni kuliah mandiri, dengan membeli buku modul kuliah dan mempelajarinya sendiri.
Ilmu komunikasi bisa dibilang hal baru bagiku waktu itu. Mengingat, sebelumnya aku kuliah di jurusan prodi perbankan, jurusan Akuntansi. Tapi toh rupanya materi yang ada dalam modul-modulnya menarik untuk dipelajari. Aku pun giat membaca, walaupun awalnya sulit menyesuaikan diri dengan perubahan gaya belajar yang sangat drastis bila dibandingkan perguruan tinggi konvensional. Bila pada perguruan tinggi konvensional kita mengandalkan interaksi dengan dosen dengan intens, maka pembelajaran mandiri yang diterapkan UT menuntut setiap mahasiswanya memiliki motivasi sendiri di dalam belajar. Mahasiswa dituntut untuk memiliki kreativitas sendiri, karena tidak ada yang mengawasi secara tegas. Yang penting, mahasiswa dapat memahami materi dalam setiap modul, dan bisa menjawab setiap soal dalam Ujian Akhir Semester (UAS) dengan baik. Bila ada mata kuliah yang mendapat nilai E, maka harus mengulang pada semester berikutnya.
Kuliah di UT membuatku tidak terikat pada bangku ruangan kelas. Maksudku, aku bisa melakukan 'kuliah' dimana saja aku mau, selama aku membawa modul mata kuliah. Mulai dari rumah, masjid, hingga di tengah hutan, di daerah pedalaman, aku tetap bisa kuliah, yang dalam hal ini artinya membaca buku dimanapun berada. Meskipun begitu, UT menawarkan bentuk pembelajaran aktif dengan interaksi bersama para dosen. Yaitu melalui tutorial tatap muka (TTM) dan tutorial online (Tuton). Aku pun memanfaatkan dua jenis tutorial ini untuk bisa semakin memahami materi dan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Untuk TTM dilakukan setiap akhir pekan. Karena memang pada akhir pekan atau hari libur, para mahasiswa UT yang kebanyakan kaum pekerja bisa memiliki waktu. Sementara Tuton, dilakukan melalui situs UT, dengan pemberian tugas dan diskusi setiap pekannya.
Meski terbilang lancar dalam menempuh pendidikan di UT, namun toh awalnya aku sempat down dan terpikir untuk berhenti kuliah di UT. Itu terjadi pada semester pertama. Kala itu, aku tidak berhasil mengikuti ujian hari pertama dan juga sebagian ujian hari kedua karena salah satu sebab. Dari 7 mata kuliah yang kuambil hanya 2 mata kuliah yang sempat kuikuti. Tak ayal, IP semester awalku pun hanya berasal dari dua mata kuliah tersebut, yang sayangnya nilai yang kudapatkan yaitu C dan D. Ini membuatku berpikir kembali. Namun, aku tidak menyerah. Apalagi aku sudah mempertaruhkan semuanya untuk bisa melanjutkan pendidikan tinggi di UT.
Belajar dari pengalaman di semester pertama, aku pun menyiapkan UAS dengan lebih seksama. Untuk penyelenggaraan UAS ini dilakukan di sekolah-sekolah tertentu yang telah ditunjuk, dengan pelaksanaan di hari Sabtu dan Minggu. Sehari sebelum ujian digelar, aku harus melakukan survei tempat terlebih dulu agar pada saat ujian aku bisa menemukan lokasinya dengan mudah dan juga aksesnya. Tapi, sempat pula ujianku di semester ini nyaris gagal, ketika aku terlambat mengambil kartu ujian dan hari Jumat pekan itu merupakan hari libur. Beruntung aku menghubungi pihak UPBJJ dan pihak UPBJJ menyatakan kartu ujian tetap bisa diambil walaupun hari libur. So, ujianku pun terselamatkan.
Pekan-pekan itu menjadi pembelajaran bagi studiku di kampus yang tidak biasa tersebut. Aku pun mulai terbiasa belajar mandiri, mengerjakan tugas dan berdiskusi secara online, serta mengikuti tutorial tatap muka bila mata kuliahku tersedia untuk tutorial tersebut. Semester demi semester pun terlewati, dan petulanganku dari satu tempat ujian ke tempat ujian pun terjadi. Aku selalu mempersiapkan ujianku dengan matang. Aku pun kini merindukan saat-saat istirahat ujian, dimana aku selalu menyantap indomi goreng dua porsi di warung terdekat. Bahkan, aku pernah ketiduran ketika menunggu waktu istirahat selesai untuk ujian mata pelajaran berikutnya. Beruntung aku tidak terlambat cukup lama untuk bisa menyusul.
Akhirnya dalam waktu 3,5 tahun aku berhasil menyelesaikan semua persyaratan yang diminta untuk bisa mengikuti Tugas Akhir Program (TAP). Semua mata kuliah yang dipersyaratkan sudah kuselesaikan dengan nilai bervariasi, namun tidak ada nilai E. Karena kalau sampai mendapat E artinya tidak lulus mata kuliah tersebut dan mengulang pada semester berikutnya. So, aku tinggal berhadapan dengan TAP.
TAP merupakan salah satu ketakutanku. Di masa kuliahku dulu, TAP berupa studi kasus. Mahasiswa disodorkan beberapa kasus untuk dikerjakan dengan menerapkan semua teori komunikasi yang pernah dipelajari. Tak ingin gagal dalam ujian yang menentukan ini, aku pun mengikuti Tuton dan TTM pembekalan TAP. Disinilah aku bertemu dengan kawan-kawan dengan misi yang sama, lulus kuliah. Di antaranya yaitu Mas Miko dan Pak Hasan. Komunikasiku dengan Mas Miko telah terputus, namun sampai saat ini Pak Hasan masih sering menghubungiku, meminta saran mengingat rupanya Pak Hasan belum dinyatakan lulus semester TAP kami waktu itu.
Saking ingin meraih nilai baik, aku sampai mengasingkan diriku di rumah kakakku. Ada sebuah kamar kosong di lantai atas rumah kakakku (yang sebenarnya rumah mertuanya), yang kutempati untuk dapat mempelajari 4 mata kuliah yang menjadi kunci dalam TAP. Apalagi aku sudah mendapatkan kisi-kisi melalui TTM dan Tuton. Yeah, pengasingan diriku saat itu kusebut dengan istilah karantina. Setiap hari yang kulakukan hanyalah menjejali isi kepalaku dengan materi-materi dalam 4 modul mata kuliah tersebut, hingga aku benar-benar memahaminya.
Dan, akhirnya ujian TAP pun tiba, mengambil tempat di salah satu sekolah di Jakarta. Yeah, disini aku bertemu teman-temanku saat TTM, dan kami sama-sama gugup. Aku bahkan berada satu ruangan dengan beberapa dari mereka. Well,mengerjakan TAP membuatku gugup, namun aku terus berupaya untuk menenangkan diri, dan menerapkan teori-teori yang kupelajari sebelumnya dalam setiap kasus yang disajikan.
Seusai TAP merupakan penantian panjang hingga hasilnya diumumkan. Tapi toh penantianku tak sia-sia. Aku mendapatkan nilai A dalam TAP, sekaligus membuka pintu Yudisium. Saat itu, IPK yang kuraih sebesar 2,9. Hanya kurang 0,1 saja untuk melengkapinya menjadi 3. Ada keinginan untuk memperbaiki nilai mata kuliahku sehingga aku bisa memperbaiki IPK. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan, mengingat aku harus bisa menunjukkan pada tanteku yang selama ini membiayaiku untuk bisa lulus dengan cepat. Well, akhirnya kuputuskan untuk berhenti di angka tersebut. Kuakui, meraih nilai tinggi di UT cukuplah sulit, dan meraih IPK sebesar dalam kurun waktu 3,5 tahun sudah merupakan prestasi tersendiri yang patut disyukuri.
Aku pun memastikan yudisium, dan mendaftar wisuda. Sayangnya, kesalahan informasi membuatku membawa pasfoto berwarna. Padahal, semestinya foto hitam putih. Hal inilah yang kemudian kusesali sampai saat ini, mengingat wajahku tidak terlihat jelas dalam versi fotokopi ijazahku. Lantas tanggal 5 April 2011, aku diwisuda bersama kawan-kawanku di UT Pondok Cabe. Aku datang bersama ibuku, dan kulihat betapa ibuku bahagia melihatku dalam pakaian toga dan berhasil menyelesaikan kuliah. Yeah, aku menjadi anak pertamanya yang berhasil menyelesaikan kuliah S1. Tentunya ini membanggakan beliau mengingat beliau merawatku seorang diri sebagai single mother usai kematian ayahku saat aku masih berumur enam tahun.
Ya, perjuanganku belajar mandiri tidak sia-sia. Meski sempat dimulai dengan pesimistis, toh aku berhasil mengakhirinya dengan baik. Meskipun sebelumnya aku tidak berniat menggunakan ijazahku untuk mencari pekerjaan, toh ijazahku itu membawaku bekerja pada dua tempat berbeda. Terkadang aku teringat kembali pada masa-masa itu, masa-masa belajar mandiri. Ketika belajar di masjid, belajar di taman, hingga belajar di tengah hutan, semuanya pernah kualami. Teringat pula ketika aku menjabat tangan rektor Universitas Terbuka Tian Belawati saat wisuda. Sosok yang menurutku luar biasa, yang sebelumnya hanya kulihat di televisi, akhirnya aku bisa menjabat tangannya secara langsung.
Ingin rasanya kembali lagi ke almamaterku, apalagi ada banyak perubahan yang terjadi. Misalnya, kini di UT terdapat paket kuliah, sehingga kuliah menjadi lebih tertata dengan baik. Pun, kini UT menerapkan penulisan laporan penelitian yang sangat kuidam-idamkan, namun tak bisa kulakukan pada masaku dulu. Informasi ini kudapati dari Pak Hasan. Tapi yeah, masa-masaku di kampus dengan jaket almamater berwarna senada Universitas Indonesia tersebut sudah selesai. Sekarang saatnya, mengaplikasikannya pada dunia kerja. Walaupun aku sempat merencanakan untuk mempelajari lebih dalam modul-modul ilmu komunikasi yang kumiliki, hingga aku memahaminya dengan benar. Tapi sebelum itu sempat kulakukan, aku harus kembali ke Bontang, untuk menimba pengalaman.
Itulah sekilas pengalamanku sekilas menuntut ilmu di UT. Aku tak peduli perkataan orang mengenai almamaterku. Bagiku, UT merupakan kampus tercinta yang akan selalu meninggalkan kesan di hatiku. Setiap perkembangan yang terjadi di UT, selalu membuatku merasa bangga. Terima kasih UT, terima kasih atas pembelajaran mandiri yang telah kau berikan padaku. Terima kasih telah memberiku kesempatan, memperbaiki hidupku. (luk)