Thursday, March 5, 2009

Kontroversialnya Nobel Perdamaian


Hadiah Nobel diberikan setiap tahun untuk enam bidang, yaitu fisika, kimia, kedokteran, sastra, perdamaian, dan, diberikan sejak 1969, ekonomi. Hadiah perdamaian diberikan oleh Komisi Nobel Norwegia, sementara bidang lainnya oleh Komisi Nobel di Swedia. Komisi-komisi ini ada di bawah Yayasan Nobel yang dibentuk pada 29 Juni 1900 sebagai realisasi wasiat Alfred Nobel, karena dia prihatin telah menciptakan dinamit yang sering digunakan untuk perang.


Panitia hadiah fisika, kimia, dan ekonomi dipercayakan pada Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia. Sedangkan bidang fisiologi atau kedokteran pada Institut Karolinska di Stokholm. Bidang kesusastraan ditangani oleh Akademi

Swedia.


Di Stokholm, Swedia, selain pemberi hadiah Nobel Yayasan Nobel juga mewakili lembaga Nobel ke luar, misalnya dalam berbagai kegiatan informatif dan mengatur presentasi Hadiah Nobel. Namun, yayasan itu tidak terlibat dalam proses seleksi dan memilih Laureate. Untuk tugas ini dilakukan oleh panitia Hadiah Nobel yang terlepas dari urusan pemerintahan dan Yayasan Nobel.

Di Oslo, Norwegia, urusan Hadiah Nobel dipegang oleh Institut Nobel Norwegia yang didirikan tahun 1904. Tugas utamanya membantu Komisi Nobel dalam menyeleksi para calon penerima Hadiah Perdamaian dan mengorganisasi acara-acara tahunan Nobel di Oslo.


Pemberian hadiah dilangsungkan pada tanggal 10 Desember (memperingati meninggalnya Alfred Nobel). Setiap bagian boleh memilih tidak lebih dari tiga pemenang. Komisi Nobel Norwegia menetapkan para nominasi sebelum 1 Februari. Nominasi yang terlambat, diikutsertakan dalam diskusi untuk tahun berikutnya. Daftar nama penerima Hadiah Nobel biasanya diumumkan hari Jumat pertengahan Oktober di gedung Institut Nobel.


Jumlah uang hadiah turut pula menaikkan gengsi Hadiah Nobel. Meski, jumlah itu tidak seberapa kalau dibandingkan dengan jumlah di masa-masa awal. Tahun ini, jumlahnya hampir senilai AS $ 1 juta per kategori. Sumber pendanaannya, selain aset Alfred Nobel juga pelbagai lembaga di dunia.

Dua belas Oktober lalu, PBB dan Kofi Annan diumumkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Penyerahan hadiahnya sebesar SEK 10 juta (kron Swedia) akan dilaksanakan 10 Desember bertepatan dengan ulang tahun ke-100 pemberian hadiah bergengsi ini. Sementara orang barangkali mempertanyakan pencapaian mereka, namun Hadiah Nobel, khususnya Perdamaian, memang hampir selalu menimbulkan kontroversi.

Lebih dari 100 orang telah menerima hadiah perdamaian ini, banyak di antaranya para aktor politik kontroversial. Hadiah Nobel, siapa pun pemenangnya, seolah-olah mengangkat berbagai konflik internasional dan nasional ke permukaan dan mengalihkan perhatian masyarakat dunia dari konflik. Kemajuan teknologi informasi makin membuat masalah-masalah nasional jadi mendunia. Sementara si “pemilik” masalah menganggap keterlibatan dunia luar, termasuk panitia Nobel, sebagai “campur tangan.”

Sejak Hadiah Nobel mulai dibagikan tahun 1901, berbagai kontroversi sudah timbul. Jean Henri Dunant dan Frederic Passy yang pertama kali menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Sebagai pendiri Palang Merah Internasional (ICRC), Dunant dinilai pantas karena organisasinya yang berdiri tahun 1863 itu memang meringankan penderitaan manusia dalam perang. Namun, pendukung Passy tak rela membagi hadiah itu dengan Dunant. Argumen mereka, memangnya apa yang dilakukan ICRC untuk mencegah perang?

Sebaliknya, yang pro Dunant pun keberatan berbagi dengan Passy, salah satu pendiri Uni InterParlemen (kelompok perdamaian) dan penyelenggara Kongres Perdamaian Universal. Anggota Komisi Nobel ketika itu memang didominasi kaum liberal. Tak heran kalau dari 19 pemenang hadiah perdamaian sebelum PD I, hanya dua yang bukan dari Uni InterParlemen.

Hadiah politik

Banyak negarawan dan politisi penerima Hadiah Nobel Perdamaian memang mempunyai kekuasaan untuk menciptakan perdamaian atau peperangan. Yang pertama adalah Presiden Amerika, Theodore Roosevelt. Ada pendapat, seharusnya ia tidak mendapat penghargaan itu. Lalu mengapa ia dipilih?

Tahun 1905, Norwegia dan Swedia berpisah secara damai. Ketua Komisi Nobel Norwegia saat itu menjadi Perdana Menteri Norwegia yang pertama. Setahun kemudian, komisi memberikan Hadiah Perdamaian kepada Roosevelt, sebagai mediator untuk mengakhiri perang Rusia-Jepang tahun 1905.

Peran “tokoh perdamaian” Roosevelt memang tidak jelas. Selama perang antara Spanyol-Amerika tahun 1898, ia memimpin resimen kavaleri Amerika di Kuba. Setelah menjadi presiden, ia tampil sebagai orang paling berkuasa dan menggunakan kekuatan militer. Tak heran, saat ia beroleh Hadiah Nobel, banyak media di Amerika yang penasaran. Malah, Harian New York Times mengomentari, “Senyum lebar memenuhi wajah dunia ketika hadiah dianugerahkan kepada warga negara Amerika Serikat yang paling suka perang ini.”

Muncul dugaan, penghargaan bagi Presiden Amerika ke-26 itu adalah upaya Norwegia sebagai negara baru yang “membutuhkan tetangga besar yang bersahabat—meskipun jauh,” seperti dikutip dari harian Norwegia. Namun, hadiah itu menimbulkan tantangan baru bagi media internasional yang tertarik pada Hadiah Nobel Perdamaian.

Pernah dipertanyakan, apakah Komisi Nobel Norwegia melanggar surat wasiat Alfred Nobel kalau memberikan hadiah pada negarawan? Nobel memang tidak menyebut siapa yang boleh dan yang tidak. Tetapi, apakah Nobel juga berpikir tentang raja, perdana menteri, atau presiden waktu menciptakan Hadiah Perdamaian? Mungkin juga tidak.

Gerakan perdamaian telah berubah sejak Nobel menulis wasiat. Waktu itu, umumnya tokoh perdamaian sangat idealis dan sedikit terlibat politik. Setelah pergantian abad, banyak pemerintahan yang gencar mempromosikan cara penyelesaian damai untuk berbagai masalah internasional, misalnya arbitrasi sebagai cara untuk mencegah konflik internasional yang serius menjadi perang. Jadi, kian besar campur tangan politik dalam usaha untuk perdamaian. Ketika Hadiah Nobel diberikan pada Roosevelt, 10 Desember 1906, Presiden Parlemen Norwegia, Gunnar Knudsen, menekankan perubahan itu dan semua yang dilakukan Roosevelt dijadikan contoh.

Sebenarnya, ada kandidat lain yang dianggap lebih layak. Enam organisasi dan 23 individu dinominasikan. Enam di antaranya kemudian juga mendapat hadiah serupa. Dengan memberikan hadiah pada Presiden Amerika itu, Komisi Nobel seolah-olah memberikan Hadiah Nobel semata-mata untuk aksi politis dan kemanusiaan tertentu.

Hadiah kontroversial

Beberapa orang mungkin merasa ada yang tak beres dengan adanya kontroversi itu. Posisi Hadiah Nobel Perdamaian yang sekarang, sebagian karena Komisi Nobel Norwegia punya keberanian untuk mengambil keputusan yang bertentangan. Penghargaan bagi sejumlah nama besar dalam sejarah perdamaian, seperti Albert Schweitzer (misionaris kedokteran di Gabon dengan filosofi etika Schweitzernya) dan Ibu Teresa, mungkin memang pantas disambut meriah.

Tetapi nama-nama lain relatif menimbulkan kontroversi, seperti Carl von Ossietzky (yang membuat Hitler marah sehingga melarang warga Jerman menerima Hadiah Nobel), Martin Luther King, Jr. (yang mengejutkan banyak warga kulit putih Amerika), Andrei Sakharov (yang mengagetkan para pemimpin Uni Soviet), dan Mikhail Gorbachev (yang merangsang kemarahan sebagian warga Rusia dan negara-negara Balkan).

Kasus lain, ada yang mestinya layak mendapatkan, ternyata tidak diberi. Mahatma Gandhi, sang pejuang tanpa kekerasan abad XX, misalnya. Gandhi dinominasikan pada tahun 1937, 1938, 1939, 1947, dan, akhirnya, beberapa hari sebelum dibunuh pada Januari 1948. Namun, Hadiah Nobel tak pernah sampai di tangannya. Begitu pula dengan Jean Monnet, “bapak” Integrasi Eropa. Sebaliknya, sejumlah Laureate (sebutan untuk pemenang Hadiah Nobel) lain yang seharusnya tidak menang, malah terpilih.

Keputusan Komisi Nobel mungkin benar, walau menimbulkan kontroversi. Kontroversi pun bisa menimbulkan kesulitan sendiri. Tiga kejadian dalam sejarah Hadiah Nobel, misalnya. Karena pertentangan yang begitu keras, anggota komisi sampai mengundurkan diri. Dalam kasus Carl von Ossietzky (1935), dua anggota komisi—Menteri Luar Negeri Norwegia Halvdan Koht, dan mantan Perdana Menteri Norwegia Johan Ludwig Mowinckel—menarik diri. Tujuan mereka, untuk memperjelas bahwa pemberian hadiah bukan bagian dari kebijakan politik luar negeri Norwegia.

Tahun 1973, hadiah jatuh ke Henry Kissinger dan Le Duc Tho untuk kasus perang Vietnam dan penarikan pasukan Amerika. Tho menolaknya karena tidak dicapai kesepakatan damai. Pemimpin Vietnam Utara itu menjadi satu-satunya Laureate yang menolak hadiah bergengsi ini. Kissinger pun tidak datang menerima hadiah, belakangan ia ingin mengembalikan hadiahnya. Namun, niat itu tidak dibolehkan dalam aturan panitia Nobel. Tahun itu pula, dua anggota komisi mengundurkan diri karena tidak setuju. Juga saat Yasser Arafat, Yitzhak Rabin, dan Shimon Peres (1994) “menang”, seorang anggota komisi mundur.

Memperjuangkan HAM

Ossietzky menjadi salah satu dari 38 yang tercantum dalam nominasi Hadiah Perdamaian tahun 1935. Bagi banyak orang Jerman, khususnya kaum nasionalis sosialis Hitler, ia dianggap pengkhianat. Namun, kampanye internasional menjadikannya simbol tahanan demokrasi melawan Hitler. Anugerah itu seolah menjadi simbol antifasisme.

Sebelum 1 Februari 1936, Institut Nobel di Oslo menerima 86 usulan yang mendukung pencalonan Ossietzky yang ditandatangani oleh ratusan anggota parlemen dan akademisi dari 10 negara. Baru pada 23 November 1936 komisi memutuskan, jurnalis antimiliter Jerman itu memperoleh Hadiah Perdamaian tahun 1935, bersamaan dengan keputusan pemenang tahun 1936.

Di Norwegia pers memperdebatkan masalah ini. Koran-koran sosialis, komunis, dan liberal mendukung keputusan itu, sementara sejumlah koran konservatif umumnya skeptis atau memandang negatif. Jerman pun resmi memrotes pemerintah Norwegia. Malah Januari 1937 Hitler melarang warga Jerman menerima hadiah bergengsi itu. Akibatnya, dua pemenang Hadiah Nobel Kimia 1938 dan 1939, serta seorang pemenang bidang kedokteran tahun 1939 tidak menerima penghargaan tahun itu.

Bagi Ossietzky hadiah itu menjadi hal paling kontroversial dalam sejarah Nobel Perdamaian. Mundurnya dua anggota komisi menyebabkan Parlemen Norwegia mengubah peraturan tentang anggota Komisi Nobel. Penghargaan bagi Ossietzky pun dapat dilihat sebagai cikal bakal berkembangnya keinginan memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) sebagai pekerjaan untuk perdamaian pasca PD II.

Hadiah Nobel sering dianggap sebagai suara komunitas internasional. Dari tahun 1960-an, Komisi Nobel Norwegia semakin banyak memberikan penghargaan berkaitan dengan masalah hak asasi manusia. Beberapa contoh pemenang-pemenang kategori baru misalnya, Albert Luthuli (1960, pemimpin Zulu penentang apartheid di Afrika), Martin Luther King, Jr. (1964, penentang apartheid versi Amerika), Andrei Sakharov (1975, pencipta bom hidrogen Uni Soviet), Adolfo Perez Esquivel (1980, aktivis HAM Argentina), dan Aung San Suu Kyi (1991, pemimpin oposisi militer Burma). Latar belakang pertimbangan Komisi, apartheid di Afrika Selatan, tekanan terhadap warga kulit hitam di Amerika, pelanggaran HAM di Uni Soviet, dan persekusi pejuang HAM di Argentina dan Burma, bukan murni masalah nasional, melainkan universal.

Carl von Ossietzky meninggal di penjara tahun 1938, sebelum sempat menggunakan hadiah yang membuatnya menjadi simbol perdamaian dan kebebasan internasional. Dengan semakin kuatnya kecenderungan dunia pada isu-isu hak azasi manusia, jelaslah para anggota Komisi Nobel Norwegia belakangan merasa bangga telah terlibat dalam masalah itu.

Seribu jalan menuju damai

Apakah Hadiah Perdamaian berpengaruh atas apa yang terjadi di dunia? “Saya yakin, Hadiah Perdamaian ini jelas berpengaruh,” kata Geir Lundestad, Sekretaris Komisi Nobel Norwegia.

Banyak orang berpikir, Hadiah Nobel Perdamaian agak unik. Bisa diberikan kepada Ibu Teresa, yang tentu Anda pun setuju. Tetapi bisa juga diberikan kepada Yasser Arafat, salah satu pihak yang terlibat langsung dalam suatu konflik. Jadi, cukup ekstrem.

Mengapa demikian? Kritik semacam ini akan menjadi masalah bagi mereka yang hanya melihat satu jalan menuju damai. Padahal, sebagian besar anggota panitia Nobel yakin ada banyak jalan menuju damai yang masing-masing berbeda. Para pemenang Hadiah Nobel dalam setiap kategori menunjukkan berbagai cara yang berbeda itu.

Garis nyata yang membedakan perkembangan cara menyelesaikan konflik secara damai dapat dilihat dalam sejarah Hadiah Perdamaian. Hingga tahun 1960, kecuali Carlos Saavedra Lamas, Menteri Luar Negeri Argentina (1936), hadiah jatuh pada orang-orang Eropa dan Amerika Utara. Sejak tahun 1960, pelahan-lahan muncul penerima hadiah yang berasal dari luar kawasan itu. Malah tahun 1990-an semakin banyak orang Asia dan Afrika menerimanya.

Jumlah wanita sebagai pemenang juga meningkat, meski lambat. Bertha von Suttner (1905), teman Alfred Nobel yang mendorongnya menyertakan perdamaian dalam Hadiah Nobel, siapa sangka menjadi wanita pertama peraih hadiah itu setelah lahir novel antiperangnya Lay Down Your Arms. Dengan tiga Laureate wanita lagi di tahun 1990-an, Aung San Suu Kyi, Rigoberta Menchu, dan Jody Williams, kini jumlah pemenang wanita mencapai sepuluh orang.

Masa depan memang sulit diramal. Hadiah Nobel Perdamaian telah melewati tantangan dalam 100 tahun pertamanya. Definisi perdamaian pun terus berkembang sejalan dengan perkembangan dunia dan berbagai konfliknya. Apakah, Hadiah Nobel akan terus kontroversial?

Entahlah.

[Majalah Intisari, Desember 2001]

No comments: