…air bisa membuat perahu berlayar, tetapi juga dapat menenggelamkannya:
begitu juga dengan judi, kalau dimainkan sesaat bermanfaat untuk mengisi waktu
tapi kalau sudah kebanyakan, bisa menjadi mudarat…
* * *
Pada awalnya aku sama sekali tidak menyangka keadaan bisa begini tragis,
hidup terlunta-lunta di sebuah kota kecil yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Dahulu aku hidup penuh kemewahan, bak seorang
Pangeran. Tapi kini, semua telah berubah, jangankan untuk merasakan
harumnya sebuah parfum atau sejuknya ruangan di supermarket. Untuk makan
saja, aku harus memutar otak terlebih dahulu.
Kalau dahulu aku selalu berkata
“Hari ini makan apa ya?” atau
“Hari ini makan yang enak dimana ya?” tapi sekarang telah berubah menjadi
“Hari ini, apa yang bisa kumakan” dan “
Apa lagi yang dapat kujual untuk membeli makanan…!”
Ini semua akibat judi!
* * *
Ya, judilah yang membuat kehidupanku menjadi berubah drastis. Semua
harta benda milik keluarga ludes tak bersisa, mulai dari mobil pribadi,
angkot, truk, rumah, hingga sertifikat tanah milik Keluarga besarku
telah beralih tangan ke seorang penadah karena hutang-hutang yang sudah
menumpuk hingga menjerat leher.
Aku diusir oleh Orang Tua, dikucilkan dari Keluarga besar, Dipecat dari
Kantor karena menilep dana perusahaan dengan angka yang tinggi dan yang
terparah adalah ditinggal pergi oleh Istri dan anakku yang masih balita…
Semua terasa gelap, segelap langit yang mendung…
Beruntung, ada Nenek yang masih sayang padaku. Meskipun beliau marah
besar, tetapi dengan sembunyi-sembunyi tetap mengirimkan uang untuk
biaya hidupku sehari-hari. Tapi aku tetap juga tidak mau sadar, aku
masih juga suka bermain judi, meskipun sudah tinggal di sebuah kota yang
terpencil dan jauh dari Ibukota ini. Memang yang kumainkan saat ini
dengan waktu aku masih jaya sangatlah berbeda jauh. Sekarang aku hanya
bisa main di pinggiran suatu rel kereta api, dengan nominal paling besar
seribu rupiah.
Tapi itu juga yang membuat aku kehabisan uang, karena lebih sering kalah
dibandingkan menang. Dan jikalau menang pun, uangnya habis entah
kemana. Terpakai untuk Minum-minuman keras, foya-foya, serta pergi ke
kota “P” untuk melanjutkan aktiftas dunia malam. Ibarat kata orang,
“Duit Setan Dimakan Jin…!”
Hingga akhirnya terputus sudah aliran dana dari satu-satunya orang yang sangat menyayangiku ini.
Dunia terasa gelap, dan aku membayangkan hari-hari depanku akan suram.
Aku tetap berusaha untuk bertahan hidup dengan melamar kerja di beberapa
tempat, mulai dari Kenek Angkot, Kuli Bangunan, Pemulung, bahkan yang
rendah sekalipun sebagai Gig***.
* * *
Namun, lagi, lagi, dan lagi tetap saja sulit menghilangkan kebiasaan dari yang namanya Judi!
Hingga akhirnya, pada suatu malam aku bermimpi tentang keadaan anakku
yang berada di Ibukota, jauh diseberang lautan. Saat itu aku sedang
asyik bermain bersamanya, namun tiba-tiba anakku ada yang merebutnya
dengan paksa. Orang yang merebutnya berpakaian parlente dengan kemewahan
yang seperti aku kenakan dahulu dan disampingya adalah Istriku!
Anehnya istriku itu tidak ikut membelaku, malah dengan menggendong
anakku ia hanya memalingkan wajahnya dariku, seolah aku ini adalah
seorang yang hina…
Aku berusaha untuk merebut anakku kembali, namun seseorang itu hanya tersenyum sinis. Dengan mengejek, ia berkata
“Jangankan
untuk mengurus Anak dan Istrimu, mengurus diri sendiri saja kamu tidak
mampu!. Kalau mereka bersama dirimu, hendak kamu kasih makan apa setiap
hari? Apa kamu rela melihat mereka kelaparan tak berdaya setiap hari?
Dan apa kamu rela, anakmu satu-satunya ini setiap hari meminum Air
Tajin?* Uruslah dirimu sendiri, sebelum mengurus anak dan istrimu ini…!”
Kemudian seseorang itu bersama istriku lenyap, tinggal anakku yang lucu
itu sendiri. Dengan menyeka matanya dari tangisan, ia tersenyum manis
lalu kemudian menghilang.
Saat aku terjaga, aku merasa seolah-olah diguyur oleh air yang teramat
dingin. Rupanya sudah dua tahun aku tidak bertemu dengan Anak dan
Istriku ini, dan senyuman manis si kecil telah membuat aku sadar untuk
tidak lagi bermain judi…
Dan aku berjanji untuk menjadi orang sukses, agar dapat berkumpul kembali bersama mereka.
* * *
“aku ini hitam: sehitam hatiku, sehitam langit yang gelap,
sehitam kulitku yang gosong, sehitam warna rambutku,
sehitam langkah jalanku, serta sehitam pikiranku yang kelam…
tapi setidaknya, aku dilahirkan ke dunia dengan jiwa yang putih bersih”
* * *
Bandara Soekarno-Hatta, 12 Februari 2011.
Akhirnya setelah perantauanku di kota Palembang, dapat juga aku kembali
menginjakkan kaki di Ibukota. Kota kelahiran sekaligus tempat yang
sangat aku idam-idamkan selama ini. Ah, rupanya sudah 5 tahun
meninggalkan kota ini, kuhitung jari di kedua tanganku 1,2,3… 7.
Hmm, sekarang ini umur si kecil sudah tujuh tahun, entah bagaimana
keadaanya saat ini. Apakah ia masih ingat dengan diriku, Ayah
kandungnya. Atau ia sudah lupa, karena setiap hari selalu bersama dengan
Ayah tirinya sekaligus seseorang dalam mimpiku itu…
* * * * Choirul Huda * * * *
__________________________________________________________________________
Tulisan ini dibuat melalui penuturan Kakak dari Sahabatku, via YM.
Foto: Ilustrasi Judi
sumber :
KOMPAS